Rabu, 02 Oktober 2013

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER
PANCASILA dan KEWARGANEGARAAN


Oleh :
                                                      Nama  :  Rona Meifilani
                                                      Nim     :  ACC 112 023
                                          
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
TAHUN 2013









JAWABAN UTS PKN
1.Analisis rasional Pkn dari alasan historis yaitu :

HISTORIS
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
SEJAK 1960-AN SAMPAI SAAT INI

CIVICS/KEWARGAAN NEGARA :  SMA/SMP 62, SD 68, SMP 1969, 
                                                                      SMA 1969
 PENDIDIKAN KEWARGAAN NEGARA (PKN) : SD 68, PPSP 73
 PENDIDIKAN MORAL PANCASILA (PMP) : SD, SMP,SMU 1975, 1984.
 PENDIDIKAN PANCASILA : PT 1970-an - 2000-an
 PENDIDIKAN KEWIRAAN  : PT 1960-an - 2001
 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN : PT 2002 - Sekarang
 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn) : SD,
                                                      SMP, SMU 1994-Sekarang
 PENDIDIKAN KEWARGAAN : IAIN/STAIN 2002 - sekarang
                                                          (rintisan)
 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn) : SD, SMP, SMU, PT
                                                         (UU No.20 Thn 2003 ttg SISDIKNAS)

2.Sasaran PKn dalam rangka membentuk smart and good citizen :
Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai peranan dan fungsi yang sangat penting dalam pembentukan perilaku Mahasiswa Indonesia dengan dimasukkannnya ke dalam sistem pendidikan yang mereka selenggarakan, diharapkan warga negaranya akan menjadi warga negara yang cerdas dan warga negara yang baik (smart and good citizen), yang mengetahui dan menyadari sepenuhnya akan hak-haknya sebagai warga negara, sekaligus tahu dan penuh tanggung jawab akan kewajiban dirinya terhadap keselamatan bangsa dan negaranya. Dengan demikian diberikannya Pendidikan Kewarganegaraan akan melahirkan warga negara yang memiliki jiwa dan semanagt patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.
Secara umum Pendidikan Kewarganegaraan ( civic education ) yang dilakukan oleh berbagai negara mengarah dan bertujuan agar warga negara bangsa tersebut mendalami kembali nilai-nilai dasar, sejarah dan masa depan bangsa yang bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai paling fondamental ( dasar negara ) yang dianut bangsa yang bersangkutan. Sejalan dengan kenyataan tersebut pada hakekatnya PKn yang merupakan salah satu bagian dari matakuliah kepribadian harus mengedepankan aspek afektif dikalangan mahasiswa.
Landasan filosofis dan harapan di atas, kemudian perlu dicari relevansinya dengan kondisi dan tantangan kehidupan nyata dalam masyarakat, agar Pendidikan Kewarganegaraan mampu memberikan kontribusi yang posiif bagi pemecahan permasalahan kemasyarakatan yang sedang dan akan dihadapi suatu bangsa atau masyarakat. Oleh karena itu apapun bentuk Pendidikan Kewarganegaraan yang dikembanmgkan di berbagai bangsa sangat perlu mengembangkan nilai-nilai fondamental bangsa ( masyarakat ) tersebut sesuai dengan dinamika perubahan sosial, agar nilai-nilai fondamental tersebut menemukan relevansinya untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap masalah-masalah masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang dikembangkan di Indonesia seharusnya juga mampu menemukan kembali relevansi nilai-nilai fondamental masyarakat dengan dinamika sosial yang berubah secara cepat. Sehubungan dengan itu pengajaran PKn tidak boleh hanya bermateri pada persoalan-persoalan kognitif semata, tetapi harus memberikan sentuhan moral and social action. Sentuhan moral dan social action ini justru harus mendapat perhatian yang lebih besar, agar pengajaran PKn mampu menuju sasaran dan tujuannya, yaitu untuk membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Sesungguhnya pada saat pendiri Republik menetapkan pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang mewajibkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional”, dimaksudkan agar pendidikan dirancang, terutama pendidikan sekolah, untuk melahirkan warganegara Indonesia yang mendukung berkembangnya bangsa yang cerdas kehidupannya. Dengan kata lain pendidikan nasional hakekatnya adalah pendidikan kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin, baik disiplin sosial maupun disiplin nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual, kemampuan profesional/atau vokasional, dalam rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan, serta dalam moral, karakter dan kepribadian. Manusia berkualitas seperti inilah yang diharapkan dihasilkan oleh proses pendidikan di sekolah. Dan atas dasar persepsi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan manusia yang berkualitas seperti inilah, mengapa senator John F Kennedy (1957) dan para Gubernur di Amerika Serikat mamandang bahwa keberhasilan Amerika Serikat dalam persaingan global ditentukan oleh kualitas proses pembelajaran yang dialami peserta didik di sekolah. Secara empirik dan teoretik sejak industrialisasi, sekolah adalah lembaga sosial yang difungsikan untuk mendukung dan membangun negara peradaban, dan pendidikan nasional adalah berfungsi membangun negara bangsa.
Dalam pandangan kelompok kami , yang menentukan kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara menghasilkan manusia berpendidikan yang mampu mendukung lahirnya negara bangsa yang kuat, disamping mutu proses pembelajarannya yang bermakna sebagai proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap, adalah manajemen dan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dari segi pembiayaan inilah akan menyoroti dampaknya kepada pembangunan loyalitas dan kebanggaan warga bangsa kepada negara bangsa.
Pendidikan Kewarganegaraan dikembangkan dalam pendidikan di perguruan tinggi karena merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan atau latihan dalam rangka mengembangkan atau menumbuhkan kesadaran, kecintaan, kesetiaan dan keberaniannya untuk berkorban demi membela bangsa dan negaranya. Serta bertujuan agar warga negara bangsa tersebut mendalami kembali nilai-nilai dasar, sejarah dan masa depan bangsa yang bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai paling fondamental ( dasar negara ) yang dianut bangsa yang bersangkutan.
PKn ditingkat persekolahan bertujuan utnuk mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan baik (to be smart and good citizenship). Warga negara yang dimaksud adalah warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat dimamfaatkan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang diajarkan disetiap jenjang pendidikan yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang baik serta berkarakter sesuai dengan Pancasila UUD 1945. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diartikan sebagai berikut:
Mata pelajaran PKn adalah program pendidikan atau mata pelajaran yang memiliki tujuan utama untuk mendidik siswa agar menjadi warga negara yang baik, demokratis dan bertanggung jawab. Program PKn ini memandang siswa dalam kedudukannya sebagai warga negara, sehingga program­program, kompetensi atau materi yang diberikan kepada peserta didik diarahkan untuk mempersiapkan mereka mampu hidup secara fungsional sebagai warga masyarakat dan warga negara yang baik.


3. Penjelasan secara filsafat darimana Pancasila berasal :
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT BANGSA INDONESIA

A.           Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan, yang bagian-bagiannya atau unsur-unsurnya saling berkaitan, saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan merupakan keseluruhan yang utuh.
Pancasila adalah sebuah system karena pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Esensi seluruh sila-silanya juga merupakan suatu kasatuan. Pancasila berasal dari kepribadian Bangsa Indonesia dan unsur-unsurnya telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia sejak dahulu.
Secara garis besar Pancasila adalah suatu realita yang keberadan dan kebenaraannya tidak dapat diragukan. Nilai-nilai Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan harus menjadi pedoman dan tolak ukur bagi seluruh kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan Bangsa Indonesia.

B.            Pengertian Filsafat
Filsafat dalam Bahasa Inggris yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari Bahasa Yunani yaitu philosophia, yang terdiri atas dua kata yaitu philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, intelegensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut failasuf
Menurut Roeslan Abdoelgani (1962), menyatakan bahwa pancasila adalah filsafat Negara yang lahir sebagai collection ideologies dari keseluruhan bangsa Indonesia. Filsafat Pancasial pada hakikatnya merupakan suatu realiteit atau noodzakelijkheid bagi keutuhan persatuan Bangsa Indonesia.
Filsafat Negara kita adalah Pancasila, yang diakui dan diterima oleh Bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup. Dengan demikian, Pancasila harus dijadikan pedoman dalam kelakuan dan pergaulan sehari-hari. Sebagai pandangan hidup bangsa, maka sewajarnyalah asas-asas pancasila disampaikan kepada generasi baru melaluai pengajaran dan pendidikan. Pancasila menunjukan terjadinya proses ilmu pengetahuan. Validitas, dan hakikat ilmu pengetahuan (teori ilmu pengetahuan).

C.           Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Sistem yang dimaksud dalam hal ini adalah satu-kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu, lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Satu kesatuan bagian-bagian.
2.      Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
3.      Saling berhubungan, saling ketergantungan.
4.      Kesemua dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem).
5.      Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974:122)
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organik. Sila-sila dalam pancasila saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa dikualifikasikan oleh sila-sila lainnya. Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu sistem, dalam pengertian bahwa bagian-bagian (sila-silanya) saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Pancasila sebagai suatu sistem juga dapat dipahami dari pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa dan negara.
Kenyataan Pancasila yang demikian ini disebut kenyataan yang obyektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain atau terlepas dari pengetahuan orang. Sehingga Pancasila sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas dan berbeda dengan sistem-sistem filsafat yang lain misalnya: liberalisme, materialisme, komunisme, dan aliran filsafat yang lain.

D.           Pendekatan-Pendekatan yang Digunakan
Pendekatan yang digunakan oleh pancasila dengan filsafat pada prinsipnya sama yaitu menggunakan pendekatan induktif dan deduktif, yaitu :
  1. Pendekatan induktif pancasila, ialah karena pancasila lahir, tumbuh, dan berkembang dari persada nusantara kita sendiri, yang berupa adat istiadat, tadisi, budaya, pustaka dan keagamaan bangsa kita sendiri, maka kemudian berkembang menjadi adat nasional atau budaya nasional.
  2. Pendekatan dedutif pancasila, yaitu pancasila sebagai pemersatu seluruh kehidupan Bangsa Indonesia yang beraneka ragam corak budayanya.

B. FUNGSI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
1. Pancasila sebagai ideologi Negara
Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu ”Panca” yang berarti lima dan ”Sila” yang berarti dasar. Pancasila berarti lima dasar atau lima asas yang menjadi dasar negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi Pancasila mengandung penegrtian bahwa Pancasila merupakan ajaran, gagasan, doktrin, teori atau ilmu yang diyakini kebenarannya dan dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia dan menjadi pentunjuk dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Dengan demikian ideologi Pancasila merupakan ajaran, doktrin, teori dan/atau ilmu tentang cita-cita (ide) bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya dan disusun secara sistematis serta diberi petunjuk dengan pelaksanaan yang jelas.
Pancasila sebagai tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 memenuhi persyaratan sebagai suatu ideologi, karena Pancasila memuat ajaran, doktrin dan atau gagasan (ide) bangsa Indonesia yang di yakini kebenarannya dan disusun secara sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaannya.
Selain sebagai ideologi negara, Pancasila juga berperan sebagai ideologi terbuka. Ideologi terbuka mengandung pengertian ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman yang ditandai adanya dinamika secara internal.
Keterbukaan ideologi Pancasila terutama dalam penerapannya yang berbetuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia nodern.
Kita mengenal ada tiga tingkat nilai, yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai dengan keadaan, dan nilai praksis berupa pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Sekalipun demikian, perwujudan ataupun pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai prsksis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
2. Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara mengandung arti bahwa Pancasila dipergunakan sebagai dasar (fundamen) untuk mengatur pemerintah negara atau sebagai dasar untuk mengatur penyelengaraan negara.
Dengan demikian Pancasila merupakan kaidah negara yang fundamental, yang berarti hukum dasar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara Republik Indonesia harus bersumber dan berada di bawah pokok kaidah negara yang fundamental.
3) Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pancasila dalam pengertian ini sering disebut juga sebagai pegangan hidup, pedoman hidup, petunjuk hidup dan jalan hidup (way of life). Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila berfungsi sebagai pedoman atau petunjuk dalam kehidupan sehari-ahari. Ini berati, Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan petunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan di segala bidang.
4) Pancasila sebagai Keprinadian Bangsa
Ini berati, sebagai halnya bendera merah putih sebagai ciri khas bangsa atau negara Indonesia yang membedakan dengan bangsa atau negara lain, Pancasila juga merupakan ciri khas bang Indonesia yang tercermin dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang senantiasa selaras, serasi dan seimbang sesuai deng nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
C. SEJARAH PERUMUSAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA
Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV yaitu terdapat dalam buku Negarakertagama karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Dalam buku Sutasoma ini, Pancasila selain memiliki arti “berbatu sendi yang lima”, juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Karma), yaitu:
1) Tidak boleh melakukan kekerasan
2) Tidak boleh mencuri
3) Tidak boleh berjiwa dengki
4) Tidak boleh berbohong
5) Tidak boleh mabuk dan minuman keras.
Menurut sejarah, bahwa kira-kira abad VII – XII Masehi, bangsa Indonesia telah mendirikan kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan, dan kemudian sekitar abad XIII-XVI Masehi berdiri kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Pada kedua zaman tersebut bangsa Indonesia telah memenuhi syarat sebagai bangsa yang mempunyai negara. Baik Sriwijaya maupun Majapahit pada zaman itu telah menjadi bangsa yang berdaut, bersatu dan mempunyai wilayah sendiri. Unsur-unsur yang terdapat pada Pancasila yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan telah dimiliki bangsa Indonesia pada saat itu, namun belum dirumuskan secara konkrit.
Perumusan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara baru dilakukan pada saat kekuasaan Jepang di Indonesia akan berakhir oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Choosakai. Badan ini dibentuk pada tanggal 29 April 1945, tetapi baru dilantik pada tanggal 28 Mei 1945.
Bagi bangsa Indonesia yang saat itu sedang dijajah Jepang, dengan telah diresmikannya pembentukan BPUPKI, ini berarti memrpeoleh kesempatan secara legal untuk mengadakan persiapan kemerdekaan dan perumusan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu negara yang merdeka. Maka pada tanggal 29 Mei samapi dengan 1 Juni 1945 dilangsungkanlah sidang pertama BPUPKI yang membicarakan asas dan dasar negara Indonesia meredeka.
Di dalam sidang pertama BPUPKI itu, beberapa anggota menyampaikan pandangan dan pendapatnya tentang asas-asas dan dasar negara Indonesia merdeka. Pendapat dan pandangan itu adalah untuk menanggapi pertanyaan ketua BPUPKI, yaitu Dr. Rajiman Wediodiningrat tentang dasar negara Indonesia merdeka. Pandangan dan pendapat tentang asas dan dasar negara Indonesia merdeka adalah sebagai berikut:
a) Pendapat Mr. Muhamad Yamin
Pada hari pertama sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhamad Yamin mendapat kesemapatan pertama untuk mengemukakan pidatonya dihadapan sidang lengkap BPUPKI. Pidato Mr. Muhamad Yamin itu berisikan lima asas dasar negara Indoesia meredeka, yakni:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Setelah selesai berpidato, beliau menyampaikan usulan tertulis mengenai Rancangan UUD Rebublik Indonesia. Didalam pembukaan rancangan UUD itu tercantum perumusan lima asas dasar negara yang berbunyi sebagai berikut:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kebangsaan persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh himkat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
b) Pendapat Ir. Seokarno
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir Soekarno mengucapkan pidato dihadapan sidang BPUPKI. Dalam pidato itu dikemukakan atau diusulkan tentang lima asas untuk menjadi dasar negara Indonesia merdeka, yang rumusannya sebagai berikut:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Un tuk lima dasar/asas tersebut, atas saran seorang teman ahli bahasa beliau mengusulkan agar diberi nama Pancasila. Usul ini kemudian diterima oleh sidang.
c) Piagam Jakarta
Pada tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional yang juga anggota BPUPKI mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usul-usul mengenai asas dasar negara yang telah dikemukakan dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945.
Setelah mengadakan pembahasan, maka oleh sembilan tokoh tersebut (yang terkenal dengan nama Panitia Sembilan) disusun sebuah piagam yang kemudian terkenal dengan nama ”Piagam Jakarta” atau ”Jakarta Charter” yang didalamnya terdapat rumusan dan sistematika Pancasila sebagai berikut:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adapun kesembilan tokoh tersebut adalah Ir. Soekarno; Dr. Moh. Hatta. Mr.A.A. Maramis; Abikusno Tjokrosoejoso; Abdoel Kahar Muzakkir; Haji Agus Salim; Mr. Acjmad Soebardjo; K.H. Wacjid Jasjim; dan Mr.Muh. Yamin.
Selanjutnya Piagam Jakarta itu diajukan dalam siding Kedua Badan Penyelidik (BPUPKI) yang berlangsung pada tanggal 14 sampai 16 Juli 1945. Di dalam siding tersebut, Badan Penyelidik (BPUPKI) menerima Piagam Jakarta untuk dijadikan pembukaan UUD sebagai hukum dasar tertulis yang sedang dibahas.

Usul Pancasila
Pohon sukun itu, yang berdiri kokoh di atas bukit, menghadap kelaut. Di situlah, pada tahun 1934 hingga 1938, Soekarno banyak merenung. Beberapa saksi sejarah menuturkan, salah satu hasil perenungan Bung Karno di bawah pohon sukun itu adalah Pancasila.
Pohon sukun itu kemudian diberi nama “pohon Pancasila”. Lalu, lapangan—dulunya bukit—tempat sukun itu berdiri di beri nama “Lapangan Pancasila”. Di Ende, sebuah kota indah di Pulau Flores, Soekarno menjahit ide-ide besarnya mengenai Indonesia masa depan, termasuk ideologi Pancasila.
Akan tetapi, kita belum tahu seberapa besar pengaruh pengalaman Soekarno di Ende dalam perumusan Pancasila. Fakta-fakta soal ini masih sangat minim. Yuke Ardhiati, seorang arsitek yang penelitiannya sempat menyinggung soal ini, mengatakan, pemikiran Soekarno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat itu, katanya, Soekarno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara.
Dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno mengatakan: “Di pulau Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.”
Dengan demikian, banyak yang menyebut Ende sebagai tempat “penyusunan gagasan-gagasan Pancasila”. Setelah itu, seiring dengan proses di Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI), Soekarno makin mematangkan gagasan tersebut.
BPUPKI resmi dibentuk tanggal 29 April 1945. Badan ini, yang beranggotakan 63 orang, memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945. Nah, di sini ada kontroversi: ada yang menyebut Mohammad Yamin menyampaikan pidato tanggal 29 Mei 1945 dan isi pidatonya sama persis dengan Pancasila sekarang ini.
Dalam pidatonya Yamin mengusulkan 5 azas: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke Tuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, banyak orang yang menyebut Muhamad Yamin sebagai penemu Pancasila. BJ Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, secara terang-terangan menyebut Muh Yamin sebagai penemu Pancasila, bukan Bung Karno.
Tesis ini makin diperkuat di jaman Orde Baru. Ini juga dalam kerangka de-soekarnoisme. Nugroho Notosusanto, salah seorang ideolog orde baru, banyak menulis tentang sejarah kelahiran Pancasila dengan mengabaikan sama sekali peranan Soekarno.
Dengan penelitian yang sudah bisa ditebak hasilnya, Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa penemu Pancasila bukanlah Soekarno, melainkan Mohammad Yamin dan Soepomo. Itu menjadi pegangan dalam buku-buku penataran P4 dan buku-buku sejarah Orde Baru.
Nugroho Notosusanto, seorang yang anti-marxisme, menuding sila kedua Pancasila  versi Bung Karno, yaitu Peri Kemanusiaan/Internationalisme, sangat identik dengan semangat internasionalisme kaum komunis.
Suatu hari, ketika Bung Hatta memberi ceramah di Makassar, seorang mahasiswa mengeritik Bung Hatta karena menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Si mahasiswa itu, entah dicekoki oleh kesimpulan Nugroho Notosusanto, menyebut Mohammad Yamin sebagai penemu Pancasila. Hatta pun bertanya dari mana mahasiswa tahu? Dijawab oleh sang mahasiswa, “Dari buku Yamin”. Hatta segera mengatakan, “Buku itu tak benar!”
Rupanya, menurut versi Bung Hatta, Mohamad Yamin tidak berpidato tentang 5 azas itu pada 29 Mei 1945. Pidato itu, kata Bung Hatta—yang saat itu anggota BPUPKI dan panitia kecil—mengingat Pidato Yamin itu disampaikan di Panitia Kecil.
Menurut Bung Hatta, yang saat itu juga anggota BPUPKI, penemu Pancasila itu adalah Bung Karno. Saat itu, kata Bung Hatta, di kalangan anggota BPUPKI muncul pertanyaan: Negara Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena takut terjebak dalam perdebatan filosofis berkepanjangan.
Akan tetapi, pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menjawab pertanyaan itu melalui pidato berdurasi 1 jam. Pidato itu mendapat tepuk-tangan riuh dari anggota BPUPKI. Sesudah itu, dibentuklah panitia kecil beranggotakan 9 orang untuk merumuskan Pancasila sesuai pidato Soekarno. Panitia kecil itu menunjuk 9 orang: Soekarno, Hatta, Yamin, Soebardjo, Maramis, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.
Panitia kecil inilah yang mengubah susunan lima sila itu dan meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa di bagian pertama. Pada tanggal 22 Juni 1945 pembaruan rumusan Panitia 9 itu diserahkan kepada Panitia Penyelidik Usaha–Usaha Kemerdekaan Indonesia dan diberi nama “Piagam Jakarta”.
Pada 18 Agustus 1945, saat penyusunan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta itu mengalami sedikit perubahan: pencoretan 7 kata di belakang Ketuhanan, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat islam kepada penduduknya.” Begitulah, Pancasila masuk dalam pembukaan UUD 1945.
Apa yang dikatakan Bung Hatta mirip dengan penuturan Bung Karno. Dalam Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, Bung Karno mengatakan, selama tiga hari sidang pertama terjadi perbedaan pendapat. Artinya, jika sidang dimulai tanggal 29 Mei 1945, maka hingga tanggal 31 Mei belum ada kesepakatan.
Terkait tanggal 29 Mei itu, seorang pakar UI, Ananda B Kusuma, menemukan Pringgodigdo Archief. Dokumen ini cukup penting, sebab memuat catatan-catatan tentang sidang itu. Menurut dokumen itu, orang-orang yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945 itu: MRM. Yamin (20 menit), Tn. Soemitro (5 menit), Tn. Margono (20 menit), Tn. Sanusi (45 menit), Tn. Sosro diningrat (5 menit), Tn. Wiranatakusumah (15 menit).
Sidang itu diberi alokasi waktu 130 menit. Akan tetapi, yang cukup aneh, Yamin disebut berpidato 120 menit. Padahal, saat itu ada lima pembicara lain yang juga harus menyampaikan pidatonya.
G. Moedjanto, seorang sejarahwan, juga menemukan kejanggalan pada pidato Yamin—yang disebut tanggal 29 Mei 1945 itu. Pada alinea terakhir berbunyi: “Dua hari yang lampau tuan Ketua memberi kesempatan kepada kita sekalian juga boleh mengeluarkan perasaan”. “Dua hari yang lampau” itu berarti tanggal 27 Mei 1945, sedangkan sidang baru dibuka pada tanggal 29 Mei 1945. Artinya, seperti dikatakan Bung Hatta, pidato Yamin itu memang disampaikan di Panitia Kecil—pasca Soekarno menyampaikan pidato tanggal 1 Juni 1945.
Mohammad Yamin sendiri mengakui Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Itu dapat dilihat di pidato Yamin pada 5 Januari 1958 : “Untuk penjelasan ingatlah beberapa tanggapan sebagai pegangan sejarah: 1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila…, tanggal 22 Juni 1945 segala ajaran itu dirumuskan di dalam satu naskah politik yang bernama Piagam Jakarta … dan pada tanggal 18 Agustus 1945 disiarkanlah Konstitusi Republik Indonesia, sehari sesudah permakluman kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konstitusi itu pada bagian pembukaan atau Mukadimahnya dituliskan hitam di atas putih dengan resmi ajaran filsafat pancasila.”
Roeslan Abdulgani, yang sempat menjadi Menteri Penerangan di era Bung Karno, juga menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Dua pemikiran besar di dalam pancasila, yaitu Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), sudah ‘digarap’ oleh Bung Karno sejak tahun 1920-an. Dalam konteks ini, Hatta juga punya peranan ketika menaburkan ide-ide tentang demokrasi kerakyatan.
Dari mana datangnya istilah Pancasila itu? Dalam buku “Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civic)” dikatakan, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sangsekerta: Panca berarti lima, sedangkan sila berarti dasar kesusilaan.
Sebagai kata majemuk, kata “Pancaҫila” sudah dikenal dalam agama Budha. Bila diartikan secara negatif, ia berarti lima pantangan: (1) larangan membinasakan makhluk hidup, (2) larangan mencuri, (3) larangan berzinah, (4) larangan menipu, dan (5) larangan minum miras.
Dalam karangan Mpu Prapantja, Negarakretagama, kata “Pancaҫila” juga ditemukan di buku (sarga) ke-53 bait kedua: “Yatnanggegwani Pancaҫila Krtasangskarabhisekakrama (Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan itu, begitu pula upacara ibadat dan penobatan).
Akan tetapi, jika diperhatikan dengan seksama, tidak ada keterkaitan antara Pancaҫila dalam Budha dan Negarakretagama dengan Pancasila yang menjadi dasar atau ideologi bangsa kita itu.
Bung Karno, dalam kursus Pancasila di Istana Negara, 5 Juni 1958, membantah pendapat bahwa “Pancasila (dasar negara kita) adalah perasan dari Buddhisme. Katanya, Pancasila itu tidak pernah congruent dengan agama tertentu, tetapi juga tidak pernah bertentangan dengan agama tertentu.

Soekarno sendiri menolak disebut sebagai “penemu Pancasila”. Baginya, lima mutiara dalam Pancasila itu sudah ada dan hidup di bumi dan tradisi historis bangsa Indonesia.